Semua orang bilang branding itu soal logo dan warna. Tapi buat aku, branding alas kaki adalah cerita yang berjalan sambil menapak. Aku mulai dengan sebuah ide sederhana: sepatu bukan cuma pelindung kaki, mereka adalah pernyataan diri. Malam pertama di studio kecil, lampu gantung temaram, wangi kopi yang mengepul dari tumit gelas styrofoam, aku menulis di buku catatan itu: siapa aku ingin sepatu-sepatu ini temani? Dari situlah aroma branding mulai muncul: kejujuran pada material, keberanian pada bentuk, dan kehangatan pada pengalaman membeli. Dalam proses ini, aku sering tertawa pada detail kecil—seperti bagaimana label dalam sandal bisa membuat orang teringat momen liburan, atau bagaimana bau karet baru bisa bikin orang inget masa kecil yang manis.

Di perjalanan ini aku belajar bahwa branding sepatu tidak bisa dipisahkan dari konteks gaya hidup. Aku ingin konsisten dengan persona brand: ramah, sedikit nyentrik, namun tetap praktis. Aku menilai ulang palet warna setiap minggu, mencoba kombinasi yang terasa segar namun tidak terlalu “berteriak.” Pikiranku sering melompat ke momen-momen kecil: melihat potongan kulit yang kilapnya memantulkan cahaya lampu toko, merasakan tekstur sol yang halus di ujung jari, atau suara klik saat mengetes zip pada sneakers. Ada hari-hari ketika aku merasa brand ini sedang menari antara kehangatan rumah dan energi kota besar—itu selalu jadi bahan materi untuk storytelling.

Saya sempat membuka situs referensi untuk palet dan finishing, dan di tengah kebingungan itu, ada satu momen lucu: ternyata warna-warna yang aku bayangkan tak selalu cocok dengan material yang ada. Saat mencoba beberapa sampel, aku berdiri dengan satu pasang sepatu di tangan, sambil menunggu keringnya cat, dan kepala penuh pertanyaan: “Apa warna ini akan cocok di rute perjalanan pagi yang berdebu?” Reaksi lucu datang ketika aku salah membaca kode warna—hasil akhirnya membuatku tertawa sendiri, lalu menuliskan catatan bahwa branding butuh fleksibilitas lebih dari sekadar ide konseptual. Pada satu titik, aku juga sempat melihat referensi palet di situs tenixmx untuk mendapatkan gambaran bagaimana finishing tertentu bisa diterjemahkan ke material yang berbeda. Pengalaman itu mengajariku bahwa branding adalah proses terus-menerus menyesuaikan diri dengan kenyataan produksi tanpa kehilangan identitas.

Apa yang dicari pelanggan dari sepatu kita?

Mengerti pelanggan adalah soal menyentuh indera: bagaimana rasanya memegang bahan, bagaimana suara langkahnya, bagaimana mata mereka menilai detail. Aku membayangkan seorang pelanggan yang tidak hanya membeli sepatu, tetapi juga membeli perasaan aman setiap kali mereka melangkah di pagi hari. Karena itu aku memusatkan perhatian pada tiga hal utama: kenyamanan, keunikan desain, dan nilai emosional. Material dipilih dengan teliti: kulit yang tahan lama, bagian bertekstur yang memberi grip, sol yang tidak terlalu keras sehingga mudah didengar saat berjalan di lantai keramik. Warna-warna dipilih bukan karena tren semata, melainkan karena mereka menimbulkan kesan berkelas tanpa kehilangan kenyamanan usia pemakaian. Praktikal, ya—tetapi tetap punya bumbu karakter yang membuat produk terasa hidup di dalam cerita pelanggan.

Di tengah proses, aku mencoba membangun bahasa merek yang mudah diingat: cerita-cerita kecil tentang perjalanan sepatu, bukan hanya spesifikasi teknis. Aku ingin seseorang melihat label pada lidah sepatu dan merasakan kenangan pagi di kota tempat mereka tumbuh. Ketika konten di media sosial mulai menyorot bagaimana sepatu bisa jadi teman setia di berbagai momen—berlari di trotoar kota, menunggu di halte yang dingin, atau berjalan santai di sore hari—aku merasa branding mulai hidup sendiri. Ada saat-saat aku menahan diri untuk tidak terlalu sangat “jualan,” karena aku percaya hubungan jangka panjang lah yang membangun loyalitas. Ketika pelanggan memberikan feedback, aku menuliskan setiap insight sebagai pelajaran untuk palet warna, bentuk, hingga packaging. Itulah detak jantung brand yang sebenarnya.

Bagaimana produksi sepatu mengubah arah branding saya?

Proses produksi adalah cermin yang jujur. Aku belajar bahwa branding bukan hanya soal desain, tetapi juga bagaimana semua bagian bekerja selaras: sourcing material, workmanship, hingga packaging. Prototipe menjadi tempat percobaan yang paling nyata. Ada hari di mana semua terlihat sempurna di layar komputer, lalu saat prototipe jadi nyata, rasanya berbeda: ukuran terlalu longgar, jahitan tidak rata, atau warna yang terlihat lebih pudar di bawah cahaya toko. Tantangan seperti itu mengajarkanku pentingnya proses iterasi. Aku mulai menata standar kualitas yang jelas dan membedakan antara “kualitas premium” dengan “persepsi premium” yang bisa dipertahankan lewat pengalaman pelanggan, bukan sekadar label harga.

Ketika aku menyeleksi rekan kerja sama, aku mencari orang-orang yang peduli pada detail kecil: para tukang jahit yang merapatkan jahitan dengan sabar, periset material yang menguji daya tahan terhadap cuaca, fotografer yang bisa menangkap kilau kulit tanpa mengubah warna aslinya. Hal-hal kecil inilah yang kemudian menjadi bagian dari narasi merek: bagaimana sepatu itu bisa bertahan, bagaimana orang merayakan langkah pertama setelah membeli, bagaimana packaging yang sederhana bisa membuat unboxing terasa istimewa. Di beberapa momen, aku juga menemukan bahwa branding yang kuat bukan sekadar membuat produk terlihat lebih cantik, tetapi memberi rasa aman bahwa produk kamu akan menemani banyak momen hidup orang—dan itu, pada akhirnya, membuat mereka lebih mudah merekomendasikan ke teman-teman mereka.

Ke mana arah brand ini akan melangkah selanjutnya?

Rencana ke depan adalah tentang konsistensi dan komunitas. Aku ingin membangun lingkungan yang memungkinkan pelanggan merasa menjadi bagian dari perjalanan ini: konten yang jujur tentang proses produksi, sesi tanya jawab terkait perawatan sepatu, serta event kecil seperti pop-up shop yang mengundang pelanggan merasakan langsung material dan tekstur produk. Aku juga ingin memperjelas narasi brand melalui kolaborasi dengan seniman lokal, sehingga setiap pasangan sepatu bisa punya cerita unik yang bisa terus dibagikan. Tantangan terbesar adalah menjaga kualitas sambil menjaga harga tetap bersahabat, serta menjaga agar pesan merek tidak kehilangan empati di tengah persaingan. Dan jika aku bisa momenkan suatu perubahan kecil, itu adalah menjaga agar setiap langkah yang kita tawarkan tetap ramah lingkungan, tanpa mengurangi kenyamanan dan gaya. Saat ini aku masih belajar untuk percaya bahwa branding yang kuat adalah perpaduan antara kejujuran, keindahan, dan sedikit keberanian untuk melangkah ke arah yang belum jelas. Karena pada akhirnya, sepatu adalah bahasa tubuh kita di dunia fashion, dan branding adalah cara kita menjelaskan diri lewat bahasa itu.